JAKARTA – Ketua Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Harry Ara Hutabarat, menegaskan bahwa keterbukaan informasi dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah berjalan secara digital dan transparan.
Namun demikian, ia menekankan pentingnya kejujuran dari seluruh pihak, baik badan publik maupun pemohon informasi, agar keterbukaan tersebut berjalan optimal dan berkeadilan.
“Semua badan publik di DKI Jakarta pada dasarnya mau terbuka dalam pengadaan barang dan jasa, tetapi kenyataannya belum sepenuhnya terbuka. Masih dibutuhkan kejujuran dari semua pihak, terutama dari pemohon informasi,” ujar Harry dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Keterbukaan Informasi Pengadaan Barang dan Jasa yang diselenggarakan Komisi Informasi Pusat RI, Senin (14/7/2025) di Wisma BSG, Jakarta Pusat.
Menurut Harry, keterbukaan informasi publik tak bisa dilepaskan dari tujuan si pemohon informasi. Harus dibedakan apakah pemohon adalah pelaku usaha atau masyarakat umum yang menjalankan fungsi kontrol sosial.
“Kita harus melihat dari dimensi tujuannya. Apakah pemohon ini adalah pelaku usaha yang berkepentingan bisnis, atau masyarakat umum yang ingin memastikan proses pengadaan berjalan transparan dan akuntabel,” jelasnya.
Lebih lanjut, Harry menjelaskan bahwa sistem pengadaan barang dan jasa di DKI Jakarta seluruhnya sudah berbasis elektronik. Namun demikian, kendala masih ditemukan ketika publik meminta dokumen pengadaan dalam bentuk digital.
“Sistemnya sudah elektronik, tapi dokumen yang diminta sering kali masih disediakan dalam bentuk fisik. Alasannya, karena jumlah file-nya sangat banyak dan tidak praktis untuk dikonversi seluruhnya ke format digital,” ungkapnya.
Dalam perspektif keadilan informasi, Harry mengingatkan pentingnya penerapan sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
“Mengutip sila kelima Pancasila, keadilan sosial itu harus dirasakan juga oleh pelaku usaha. Sistem yang terbuka jangan justru menjadi beban bagi mereka. Keterbukaan harus berjalan selaras dengan prinsip keadilan,” tegasnya.
Pada kegiatan yang sama, Komisioner Bidang Kelembagaan KI DKI Jakarta, Handoko, menyampaikan bahwa partisipasi KI DKI dalam FGD ini dilandasi oleh posisi strategis Jakarta yang telah menerapkan sistem monitoring dan evaluasi (e-Monev) hingga tingkat kelurahan.
“DKI Jakarta menjadi daerah yang menarik karena sistem monev-nya sudah menjangkau level kelurahan. Ini menjadi contoh penting bagi daerah lain,” ujar Handoko.
Sementara itu, Emin Adi Muhaimin dari LKPP menyoroti pentingnya pemahaman bersama terhadap status dokumen pengadaan yang sering menimbulkan perbedaan penafsiran.
“Dokumen yang sama bisa memiliki implikasi yang berbeda, apakah termasuk informasi yang dikecualikan atau tidak. Di sinilah pentingnya pemahaman posisi dan peran masing-masing pihak,” ujar Emin.
Emin menjelaskan bahwa dalam konteks Peraturan Komisi Informasi (PERKI) Nomor 1 Tahun 2021, LKPP tidak memiliki kewenangan sebagai penentu.
“Walidata di LKPP itu berada di Pusat Data dan Informasi (Pusdatin). Maka, penting untuk mendudukkan kembali posisi PERKI 1/2021 agar aktor utamanya jelas, yaitu kuasa pengguna anggaran,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya deklarasi terbuka semisal melalui SK PPID dari setiap lembaga terkait dokumen seperti Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan hasil tender sebagai bentuk keterbukaan informasi publik.
“Karena itu, kami menyarankan Komisi Informasi untuk terus mengawal proses penetapan SK PPID di setiap badan publik. Sepanjang prosesnya selesai, data seharusnya bisa diakses secara terbuka,” tutupnya.
Diskusi ini diharapkan dapat menjadi tonggak perumusan kebijakan keterbukaan informasi yang lebih implementatif dan merata dalam sistem pengadaan barang dan jasa di seluruh Indonesia.